Jemparingan adalah seni memanah gaya Mataram yang dulu sering digelar di seluruh wilayah kerayaan kuno Yogyakarta.
Jemparingan awalnya hanya dimainkan oleh anggota keluarga kerajaan dan orang-orang lain yang dinaggap punya posisi sosial tinggi. Dalam perkembangannya, seni memanah ini menjadi olahraga bagi semua orang.
Tradisi panahan ini dulu selalu dilombakan di wilayah Kesultanan Yogyakarta. Namun kemudian peminatnya makin sedikit, dan tradisi seni memanah itu terancam hilang, terutama setelah meninggalnya Paku Alam VIII, salah satu pendukung seni memanah tradisional ini.
Di Kraton Yogyakarta sekarang ada kegiatan jemparingan yang dilakukan setiap minggu. Dua tahun lalu terbentuk kelompok jemparingan dengan gaya memanah tradisi kerajaan.
Jemparingan yang sekarang dilombakan punya sasaran kayu yang dibungkus busa dan kain, membentuk boneka. Panjangnya sekitar 30 cm. Poin terbanyak diraih pemanah jika berhasil mengenai bagian "kepala", yang diberi warna merah. Kalau tepat mengenai sasaran, bel dibunyikan untuk memberi sinyal kepada pemanah, dia berhasil mengenai sasaran.
Jemparingan bukan hanya latihan fisik, tetapi juga latihan bagi jiwa. Dalam bentuk yang paling tradisional, busur panah ditarik ke dada, bukan bukan dagu atau mulut seperti dalam gaya modern. Metode tradisional perlu banyak ketenangan dan konsentrasi sehingga selain menjadi olah raga, Jemparingan ini menjadi olah rasa. Karena sebenarnya olah raga panahan selalu identik dengan ketenangan dan ketepatan.
Foto : @tribunjogja